Harmoni (bukan benturan) Tatanan Dunia Baru

Disampaikan pada Seminar “Mengembangkan Litbang di HKBP”, Jakarta, 29 Oktober 2011

Adalah fitrah manusia untuk melihat dan memahami kompleksitas semesta alam dan sosial secara sederhana. Jika ada dua atau lebih solusi yang berbeda untuk satu permasalahan, maka yang kita terima sebagai solusi yang “benar” tentunya adalah yang paling sederhana [7]. Tak terkecuali seorang ilmuwan politik seperti Samuel Huntington (1927-2008), dalam bukunya yang terkenal, “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order” [5]. Dalam bukunya tersebut, Huntington menggambarkan bahwa pasca perang dingin sumber dari konflik di dunia yang baru bukanlah bersumber pada perbedaan ideologis atau ekonomis, melainkan perbedaan kultural yang sangat senjang, oleh perbedaan peradaban. Ini merupakan tesis serius yang ingin dikritisi oleh diskusi lanjut berikut, dalam sebuah perspektif ke-Indonesia-an, budaya tradisional, dan perkembangan sains mutakhir.

Perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur, yang akhirnya reda oleh hancurnya tembok Berlin (1989) seringkali diyakini sebagai bentuk benturan antara dua ideologi besar berdasarkan kepahaman tentang perekonomian, yaitu kapitalisme dan komunisme [3]. Dengan runtuhnya blok Timur Sovyet maka terdapat keseolah-olahan bahwa ideologi yang “sukses” bertahan adalah ideologi yang terkait pada sikap moral Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi liberal dan ekonomi pasar bebas kapitalis [4]. Konstelasi politik global berubah dan tak lagi melulu benturan antara yang sosialisitik dan yang kapitalistik.

 

Kritis Pada Huntington

Dalam perspektif teoretis yang dibangunnya, Huntington menggambarkan bahwa benturan antar ideologis telah berubah menjadi benturan antara peradaban, skema hidup yang tercermin dalam budaya dan pola hidup parsial masyarakat, di antaranya konflik yang terjadi antara yang barat dan yang timur, bahkan lebih sempit antara islam dan dunia barat yang dicap sekuler. Serangan terorisme dalam tragedi kolosal 9 September 2001, yang disertai berbagai sorotan media massa atas seruan perang terhadap Islam dan kampanye kehidupa demokratisasi oleh administrasi mantan presiden Amerika Serikat, George W. Bush, seolah menunjukkan “ramalan” Huntington benar adanya. Setelah komunisme, maka peradaban yang di mana kapitalisme pasar bebas tumbuh harus berhadap-hadapan dengan peradaban “lain”, yang direduksi sebagai “peradaban islam” [9]. Tiadakah cara lain memandang diversitas dan perbedaan “peradaban” yang ada di planet kita hari ini selain penantian akan benturan demi benturan? Di sini, sisi kemanusiaan kita menjadi tertantang, dan adalah sebuah hal yang menarik ketika sains mutakhir sedikit banyak bisa memberikan wawasan alternatif atas persoalan sosial ini.

Sebagaimana dikritik oleh pemikir sosial Edward Said [13], mungkin Huntington “tergoda” untuk memandang persoalan konflik sosial pada tataran global ini dengan bentuk pertentangan antara dua pihak yang berseteru: setelah komunisme, kemudian islam berhadapan dengan peradaban yang tumbuh dalam perspektif pasar bebas yang kapitalistik. Kehidupan sosial tidak pernah monolitik dan konflik sosial tak pernah melulu bisa direduksi sebagai bentuk dua hal yang berlawanan (oposisi biner). Justru, tiap peradaban besar sebenarnya dapat dilihat dalam pola yang muncul atas berbagai aspek kultural yang juga memiliki keunikan-keunikan sebagai peradaban di mana jumlah populasi yang lebih kecil muncul. Selalu ada sub-kultur dalam pola sosio-kultural [14].

Karakteristik sosial ini terjadi di semua sistem sosial dan peradaban, tak terkecuali peradaban barat yang secara mikro juga memiliki diversitas yang sangat tinggi. Di tengah populasi yang mayoritas Muslim, Indonesia merupakan tempat perkumpulan (gereja) kristen protestan terbesar di Pasifik dan terbesar keenam di dunia, yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan keanggotaan jemaat lebih dari 4 juta orang [11]. Konflik dan perbedaan rupanya tak mesti berakhir dengan “benturan”.

Demikian pulalah dengan fakta sebuah Indonesia. Berdasarkan sensus penduduk terakhir yang dilakukan, telah dilaporkan bahwa terdapat 1128 suku bangsa di Indonesia [6] dengan 300 kelompok etnik yang mempercakapkan lebih dari 10% dari bahasa yang ada di planet bumi ini [10]. Bentuk geografis Indonesia yang kepulauan telah menumbuhkan keberagaman tata hidup kemasyarakatan yang unik satu sama lain, yang tertuang dalam pandangan hidup, adat istiadat, seni tradisi, tata cara pengobatan, dan lain sebagainya. Bukanlah sebuah kemustahilan untuk menganggap bahwa konflik dalam bentuk benturan sosial mudah terjadi di sini. Tapi tantangan yang menarik adalah untuk melihat bagaimana justru kesatuan bisa terlihat hidup berbarengan di seluruh penjuru tanah air, dalam keanekaragaman yang justru dapat bertransformasi pada inspirasi pada dunia, di samping tentunya sumber kekuatan dalam perekonomian globa berbasis kreativitas dan inovasi di masa mendatang [17]

Wawasan Ke-Indonesia-an yang Kompleks

Kelompok etnik Batak hidup dalam sebuah fundamen dasar yang disebut “Dalihan Natolu”: tiga tungku yang menghidupi tata mikro-sosial individu dalam interaksinya dengan orang Batak lainnya. Keharusan untuk Somba Marhula-hula atau menghormati saudara pihak dan semarga dengan isteri (dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan), Manat Mardongan Tubu atau menjaga persaudaraan dengan saudara se-marga (dengan tujuan agar terhindar dari perseteruan), dan perilaku Elek Marboru atau mengasihi saudara dan semarga dengan pihak suami (dengan tujuan memperoleh berkah), merupakan tria politika tata kehidupan mikro bangsa Batak. Tiga aturan ini menjadi landas tata krama, sopan santun, hingga formalitas adat istiadat suku Batak, yang menerangkan bentuk kohesivitas yang awet dan bertahan lama di kalangan orang-orang Batak, bahkan ketika akulturasi dan asimilasi budaya terjadi dengan suku bangsa lain, termasuk pola hidup modern.

Melanggar salah satu dari Dalihan Na Tolu akan menjadikan tata laksana adat batak menjadi timpang, dan keseimbangan menjadi terganggu. Dan karena ketiga hal ini terkait dengan pernikahan orang batak, maka pernikahan merupakan sebuah hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial bangsa Batak. Kalaupun ada pernikahan dengan tidak sesame orang Batak, maka yang bersangkutan akan diberikan marga Batak (juga sesuai dengan aturan Dalihan Natolu) demi memelihara tatanan “trias politika” mikro-sosial ini.

Yang luar biasa adalah ketika tatanan mikro ini dilihat dalam big picture. Tatanan masyarakat adat batak yang diikuti sebagai bentuk kecerdasan kolektif orang Batak ini menunjukkan pola topologis dari jejaring genealogis orang batak (tarombo) [15]. Secara menakjubkan, ditunjukkan bahwa observasi investigatif pada karakteristik jejaring marga-marga batak [15] menunjukkan pola serupa dengan pola topologis dan statistik jejaring protein pada ragi [1] dan hubungan pertemanan komunitas sosial [12].

Gambar 1
Topologi jejaring interaksi protein dalam ragi yang krusial dalam kebertahanan hidup sel [1] (kiri atas), topologi jejaring hubungan saling kenal pertemanan di sebuah sekolah di Amerika Serikat [12] [(kanan atas), dan topologi jejaring marga-marga dalam genealogi batak [15] (bawah).

Struktur makro topologi marga-marga menunjukkan pola serupa dengan apa yang ditunjukkan pada struktur protein yang menjaminkan kehidupan sel-sel ragi. Jejaring hidup marga-marga batak menjadi semacam satu entitas organisma hidup yang bertahan semenjak ratusan tahun yang lalu. Lebih jauh, marga-marga tersebut seolah-olah menjadi satu entitas sosial masyarakat, di mana hubungan antara satu marga dengan marga batak lain seperti halnya hubungan pertemanan dalam sebuah komunitas sosial biasa!

Kohesivitas inilah yang mungkin membuat kehidupan orang batak tetap bisa mempertahankan dirinya dalam terjangan asimilasi di era informasi dan globalisasi. Dan adalah menarik untuk mencatat bahwa apa yang tergambar dari pola makro ini dimunculkan secara tak linier dari bagaimana satu orang batak saling menyapa (martutur), berperilaku, dan sebagainya satu sama lain, yakni Dalihan Na Tolu!

Tak ada yang mengajari orang batak untuk hidup secara mikro dalam Dalihan Na Tolu, karena ia lahir dari kecerdasan kolektif yang dipahami secara turun-temurun, demikian pula tak ada yang “mengajari” molekul-molekul protein yang saling berikatan satu sama lain sehingga menghasilkan struktur sel yang hidup, atau lebih lanjut, tak ada yang “menyuruh” satu anak dengan yang lain untuk saling berteman dan bergaul. Tapi sungguh luar biasa ketika ketiga topologi tersebut menunjukkan karakteristik makro yang sama, karakteristik suatu organisma hidup. Seolah-olah, melalui penamaan marga pada tiap individu batak tersebut, orang batak “berkomunikasi” dan membentuk struktur topologis masyarakat sebagaimana hidup sehari-hari masyarakat yang alamiah.

Lebih jauh, adalah menarik untuk mengetahui bahwa struktur topologis jejaring hidup tersebut [1, 12] menunjukkan karakteristik kompleks yang relatif baru dalam perspektif ilmu pengetahuan modern. Kompleksitas jejaring protein dan jaring sosial merupakan hal yang baru terpecahkan sifat dan karakteristik statistikanya di penghujung abad ke-20 yang lalu. Sebelumnya, dunia ilmu pengetahuan “mengira” bahwa jejaring-jejaring kompleks hidup tersebut sederhananya merupakan bentuk jejaring acak (random network) biasa saja. Ini merupakan sebuah kenyataan empiris, bagaimana ilmu pengetahuan mutakhir mulai bisa menjelaskan pola hubungan kompleks yang ada dalam kehidupan tradisional dan kelumrahan-kelumrahan kehidupan etnik di Indonesia.

Dalam banyak penelaahan akan budaya tradisional Indonesia, hal ini telah pula ditunjukkan pada banyak aspek budaya tradisi di kepulauan kita. Sifat geometri fraktal pada batik [18] merupakan sebuah contoh sederhana. Tanpa pemahaman kita akan geometri fraktal yang baru bisa populer diakuisisi ilmu pengetahuan mutakhir untuk menjelaskan berbagai karakteristik kompleks dari sistem di alam, apresiasi kita akan batik takkan lebih dari kurasi makna dan filosofi di balik keindahan batik. Penelitian menunjukkan bahwa “kecanggihan” batik bukan hanya pada narasi filosofis yang melatarbelakanginya, melainkan juga pada bagaimana geometri yang akurat untuk digunakan dalam menerangkan sistem-sistem di alam: awan, asap, pola pertumbuhan tumbuh-tumbuhan, bunga es, pigmentasi pada hewan-hewan, dan sebagainya [2].

Jiwa dari sebuah peradaban adalah seni dan sains. Ketika sains modern “Barat” (geometri fraktal, topologi jejaring sistem kompleks) telah bertemu dengan harmoni, dalam hubungan saling menjelaskan dan mengapresiasi, dengan berbagai aspek kehidupan tradisional (yang bahkan terbilang “kuno”) di kehidupan sosial orang-orang di kepulauan Indonesia yang “Timur”, maka kita menyadari bahwa ini bukanlah sebentuk “benturan” antar peradaban, namun sebuah harmoni yang saling meng-inspirasi satu sama lain. Sains dan seni dalam budaya tradisi Indonesia menunjukkan bubuhan tanda akan kesenjangan peradaban tak mesti berinteraksi sebagai bentuk “benturan antar peradaban”, melainkan juga harmoni yang saling memperkaya satu sama lain.

Indonesia sebagai wajah luluhnya tendensi “Benturan Antar Peradaban”

Secara politis, orang-orang Indonesia mungkin bisa dikatakan sebagai satu bangsa. Namun seara antropologis, tak pelak Indonesia merupakan suatu entitas politik yang terdiri dari begitu banyak bangsa [20]. Bukanlah hal yang aneh di kalangan berbagai kelompok etnik di Indonesia, penyebutan satu kata bisa berarti sesuatu yang sopan, tapi dalam bahasa daerah kelompok etnik lain memiliki pemaknaan kata yang tabu. Bahasa merupakan satu fundamen yang di atasnya kebudayaan dan peradaban masyarakat dibangun. Kenyataan bahwa terdapat 722 bahasa di kepulauan Indonesia ini [10], merupakan sebuah kenyataan yang menunjukkan ada begitu banyak peradaban yang saling berinteraksi di bawah payung politik bernama Republik Indonesia.

Di kalangan bangsa Batak saja, misalnya, keragaman bahasa telah terasa sedemikian tingginya. Penelitian kompleksitas bahasa-bahasa yang ada di kawasan Sumatera Utara menunjukkan [19] bagaimana variasi karakteristik penggunaan bahasa-bahasa daerah tersebut dalam terjemahan teks (alkitab) mencerminkan keragaman yang luar biasa. Sifat dan karakteristik kemiripan bahasa Pakpak, Simalungun, dan Toba memiliki corak yang sangat berbeda dengan karakteristik statistika bahasa Angkola dan Karo. Bahkan, sifat dan karakteristik kompleks bahasa Pakpak, Simalungun dan Toba lebih dekat dengan bahasa Sunda dan Jawa daripada dengan bahasa kelompok etnik tetangganya tersebut: Angkola dan Karo.

Keragaman ini merupakan sesuatu yang dalam perspektif Huntingonian berpotensi terakumulasi menjadi sebuah “benturan”, konflik! Namun di sisi lain, keragaman pada dasarnya dapat menjadi sebuah potensi yang justru dapat memberikan keuntungan yang positif bagi masyarakat bersangkutan, khususnya terkait dengan masa depan perekonomian negeri yang berbasis kreativitas dan inovasi.

Gambar 2
Peta keragaman bahasa-bahasa daerah di kawasan Sumatera Utara berdasarkan sifat statistika dalam teks.

Coba bayangkan jika pengrajin songket di Sumatera Selatan dapat melihat scara umum semua motif-motif tenun ulos yang khas batak itu. Atau coba kita bayangkan apa yang ada di benak seorang pengrajin ukir Jepara ketika melihat semua bentuk dan pola ukir khas batak, mulai dari dokrasi rumah adatnya, tongkat tunggal panaluan-nya, dan sebagainya. Kemampuan dan kapasitas tenun, ukir, dan sebagainya, dalam kehidupan tradisional di Indonesia merupakan skill yang diperoleh secara turun-temurun sebagai bentuk kecerdasan kolektif perkampungan di tengah-tengah berbagai kelompok etnis di tanah air. Akibatnya, pola dan coraknya pun sebagaimana yang dipelajari secara turun-temurun pula. Namun sungguh merupakan sebuah hal yang bisa menjadi sebuah bahan yang memperkaya corak kriya kerajinan mereka, jika di hadapan mereka terbentang begitu beraneka ragamnya corak, ornamen, dan motif yang berasal dari berbagai kelompok etnik yang unik dari seluruh kepulauan Indonesia.

Sekarang coba kita bayangkan jika seluruh tari-tarian dari seluruh Indonesia tersebut terpampang di hadapan seorang koreografer (penata tari) modern. Atau bayangkan seorang komposer memiliki kesempatan untuk mendengarkan lagu-lagu yang berasal dari langgam lagu tradisional secara lengkap dari Merauke hingga Sabang. Telah sedemikian sering kita dengar bagaimana tari-tarian tradisional yang berpadu dengan musikologi modern (barat) menjadi sebuah tontonan yang memberi ketakjuban panggung entertainment yang berskala global. Panggung sandiwara modern seringkali terberitakan menjadi tontonan yang memukau dari sisi plot cerita ketika tampil sebagai interpretasi modern atas sendratari tradisional Indonesia.

Hal inilah yang dikonfirmasi dalam penelitian kompleksitas budaya yang dilaporkan [17] bahwa kekayaan dan variasi berbagai elemen kultural dapat menjadi sumber inspirasi berbagai aspek budaya modern. Adalah sebuah hal yang tak kunjung berhenti menarik hati membayangkan berbagai motif dan dekorasi tradisional menjadi penghias berbagai artefak modern, mulai dari casing handphone, corak batik dalam desain fashion modern, dan sebagainya.

Keragaman peradaban di tengah-tengah bangsa Indonesia, justru dapat memberikan pengayaan yang luar biasa dari sisi implementasinya dalam kehidupan modern. Perbedaan justru tak hanya memberikan potensi “benturan peradaban”, namun justru dapat memberikan potensi ekonomi berlandaskan kreativitas dan inovasi modern.

 

Harmoni: Sains, Teknologi, Seni dan Masa Depan Kita

Namun bagaimanakah agar sekiranya berbagai kebijaksanaan yang lahir dari kolektivitas sosial etnik tersebut dapat memberikan pengayaan yang nyata bagi kehidupan masyarakat modern kita dewasa ini? Seringkali justru kepedulian pada budaya tradisi yang dianggap kuno terjadi semata-mata karena:

  1. Ketidaktahuan arti penting makna dan filosofi mendalam yang terkandung dalam elemen budaya tradisional tersebut. Ketidaktahuan menyebabkan apa yang distrukturkan dan memiliki afinitas dengan budaya modern menjadi terlihat lebih baik, padahal sebenarnya pemaknaan yang sama (bahkan seringkali lebih mendalam) dapat diperoleh melalui penggalian wawasan makna elemen budaya tradisional dari mana kita berasal.
  2. Kelumrahan budaya tradisional yang menjadi pemandangan sehari-hari menjadi lebih terkesan klise dibandingkan inovasi serba “wah” yang ditunjukkan di panggung-panggung media modern yang kapitalistik. Akibatnya, justru muncul berbagai pandangan bahwa apa-apa yang tradisional takkan memiliki daya saing (apalagi memberikan inspirasi) bagi proses kreatif dan inovasi modern.

Kedua hal inilah yang seringkali menjadi batu sandungan ketika kita berhadapan dengan apa yang disebut sebagai budaya tradisional. Kedua hal ini pulalah yang sebenarnya menjadi biang keladi “benturan peradaban”, yang malangnya, lebih sering dimenangkan oleh apa yang kita sebut sebagai “peradaban modern”.

Namun uraian kita pada bagian sebelumnya artikel ini menunjukkan bahwa kedua hal tersebut pada dasarnya absurd. Justru apa-apa yang lumrah, tradisional, kuno, dan sebagainya itu perlu dilirik demi menghadapi dunia kapitalisme global yang semakin menuntut kreativitas dan inovasi.

Sungguh disayangkan bahwa 60 tahun lebih republik ini menyatakan kemerdekaannya, belum satupun sebuah portal terpusat di mana berbagai pemaknaan dan kekayaan variatif dari elemen etnik di Indonesia tertata dengan baik dan menjadi sumber referensi penelitian yang kuantitasnya layak sebagai bahan riset maupun implementasi inovasi. Sekian tahun kita merdeka, belum juga kita memiliki satu perpustakaan atau ensiklopedia yang berperan sebagai katalog lengkap kebudayaan Indonesia. Sementara itu, wkatu berjalan terus. Kita alpa melakukan dokumentasi sementara pemangku kebijaksanaan kolektif etnik tersebut pun telah berpulang satu demi satu, tanpa penerus. Ini yang memberikan potensi masa depan, bahwa kelak sangat mungkin negeri kita akan diisi oleh generasi-generasi muda yang lupa akan akar jati dirinya sendiri sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari bangsa-bangsa.

Berpijak pada hal itu pulalah, kita diajak untuk turut serta berpartisipasi dalam program pendataan budaya tradisional kita, secara partisipatif menggunakan jejaring internet, di http://www.budaya-indonesia.org [16]. Website tersebut merupakan sebuah web di mana teknologi dapat kita akuisisi untuk menjaring kekayaan tradisional yang hampir terlupa, namun menyimpan segudang sumber inspirasi dan inovasi modern tersebut. Web partisipatif a la Wikipedia tersebut telah berjalan semenjak 2008, dan hingga saat ini, berbagai penelitian telah dapat dihasilkan dari dalamnya.

Melengkapi portal web http://www.budaya-indonesia.org tersebut merupakan sebuah inisiatif modern yang tak tradisional untuk menghimpun kekuatan hikmat, kebijaksanaan, dan pengetahuan yang terkodekan dalam berbagai elemen budaya tradisional kita. Alhasil, jika partisipasi tersebut dapat kita himpun dan terlaksana dengan baik, maka tak lama lagi kita jadi mungkin untuk melihat betapa kayanya negeri kita dalam struktur katalogisasi yang bersumber dari kebudayaan tradisional Indonesia. Melalui piranti modern ini kita berharap kedua sandungan restorasi budaya tradisional Indonesia dapat kita tepis, dan “benturan antar peradaban” kita transformasikan menjadi sebuah harmoni kehidupan masyarakat global yang berpijak pada lokalitasnya.

Mari mencintai Indonesia, mari menginspirasi dunia!

 

Kepustakaan:
[1] Barabási, A. L., Bonabeau, E. (2003). “Scale-Free Networks”. Scientific American 288 (5): 60–9
[2] Barnsley, M. F. (1993). Fractals everywhere 2nd ed. Morgan Kaufmann Pub.
[3] Dale, G. (2005). Popular Protest in East Germany, 1945–1989: Judgements on the Street. Routledge.
[4] Fukuyama, F. (1992). The End of History and the Last Man. Free Press.
[5] Huntington, S. P. (1996). The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order. Simon & Schuster.
[6] Jawa Pos National Network. Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa. URL:  http://www.jpnn.com/berita.detail-57455
[7] Katz, J. (1998). Realistic Rationalism. MIT Press.
[8] Khanafiah, D., & Situngkir, H. (2009). “Memetics of Ethno-Clustering Analysis”. Journal of Social Complexity 4(1): 18-25.
[9] Kuppuswamy, C.S. (2005). Terrorism in Indonesia : Role of the Religious Organisation. South Asia Analysis Group.
[10] Lewis, M. Paul (eds.). 2009. Ethnologue: Languages of the World, 16th edition. SIL International.
[11] Lutheran World Federation. (2009). “The Lutheran World Federation 2009 Membership Figures”. Lutheran World Information. Lutheran World Federation.
[12] Moody, J. (2001). “Race, School integration, and friendship segregation in America”. American Journal of Sociology 107, 679–716 (2001).
[13] Said, E. W. (2004). From Oslo to Iraq and the Road Map. Pantheon.
[14] Situngkir, H. (2004). “On Selfish Memes: Culture as Complex Adaptive System”. Journal of Social Complexity 2(1).
[15] Situngkir, H. (2008). “How Close a Bataknese One Another?: Study of Indonesian Batak’s Family Tree”. BFI Working Paper Series WP-2-2008. Bandung Fe Institute.
[16] Situngkir, H. (2008). “Platform Komputasi untuk Preservasi Budaya Tradisional Secara Partisipatif”. BFI Working Paper Series WP-XII-2008. Bandung Fe Institute
[17] Situngkir, H. (2009). “Evolutionary Economics Celebrates Innovation and Creativity-Based Economy”. The Icfai University Journal of Knowledge Management 7(2):7-17.
[18] Situngkir, H. & Dahlan, R. M. (2009). Fisika Batik: Jejak Sains Modern dalam Seni Tradisi Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.
[19] Surya, Y. & Situngkir, H. (2007). Solusi untuk Indonesia: Prediksi Ekonofisika & Kompleksitas. Kandel.
[20] Yatim, B. (1999). Sejarah Peradaban Islam. Raja Grafindo Persada.

Explore posts in the same categories: Uncategorized

Leave a comment