Refleksi tren Data Science dalam membaca Ekonomi Indonesia

CapturePengantar dalam Diskusi pada Seminar “Menakar Masa Depan Negara Kesatuan Republik Indonesia” di GMKI Medan, Sumatera Utara, 25 Maret 2017.

Sejarah sosial, politik, dan ekonomi Indonesia sangat diwarnai oleh kiprah gerakan mahasiswa yang merespon berbagai situasi global, nasional, hingga regional. Mahasiswa yang melakukan demonstrasi, terkadang mereka seolah berjuang melawan penguasa yang lalim. Seringkali, tanpa sadar mereka sebenarnya tidak sedang menolak kebijakan penguasa semata-mata. Mereka sedang berhadapan dengan raksasa-raksasa yang abstrak. Yang sebenarnya mereka hadapi adalah kebijakan-kebijakan ekonomi yang bersandar pada buku-buku teks yang lebih ber-empati pada angka-angka dan cara memandang ekonomi yang berlindung di balik berbagai istilah-istilah dan rumus matematika yang tampiil seolah rumit dan sulit. Cara memandang ekonomi yang seolah menjadi doktrin yang mengaburkan apa yang sejatinya “adil”. Revolusi-revolusi dan reformasi ilmu pengetahuan yang mengubah cara pandang ekonomi tersebut tak banyak dibicarakan. “Data Science” barangkali adalah salah satu revolusi itu. Data Science yang lalu menguak kenyataan bahwa ekonomi terlalu kompleks dan terlalu penting untuk didelegasikan pemikirannya hanya untuk ilmu ekonomi semata-mata. Data Science yang berharap pada kepekaan intelektual para cendekia muda, bernama mahasiswa.

Ada hantu yang membayang-bayangi cara berpikir orang-orang modern dalam menghadapi situasi yang dihadapinya. Hantu itu bernama “kenormalan”. Dalam memandang dunia dan bagaimana harus berperilaku, orang modern selalu mencari apa yang “normal” dari antara data-data yang ia dapatkan dari sekelilingnya. Akibatnya, manusia modern mengkultuskan nilai rata-rata. Demikian pula dengan ilmu ekonomi, yang merepresentasikan data-data dan bagaimana harus menarik garis kebijakan ekonomi berdasarkan data-data yang ada. Regresi terhadap kenormalan, prediksi berdasarkan perubahan nilai rata-rata, hingga keputusan-keputusan investasi dilakukan dengan melakukan kalkulasi terhadap statistika distribusi normal. Hal-hal tak “normal” yang  ditemukan dilihat sebagai keadaan yang niscaya akan berubah dan bergerak menuju ”normalitas” yang disebut sebagai  keadaan ekuilibrium [2].

Data demi data terus bertambah yang menantikan analisis ekonomi hingga keuangan, dan semakin hari teori-teori “ilmu” ekonomi senantiasa menemukan berbagai kejanggalan-kejanggalan, berbagai abnormalitas. Kita adalah generasi yang beruntung hidup di tengah era informasi digital di mana data-data mengalir dengan volume dan kecepatan yang luar biasa besar. Hingga beberapa tahun yang silam dunia menyaksikan telah lahir ilmu yang seolah “baru”, yaitu “ilmu data”, data science. Sekian lama akademia berkembang semenjak abad-abad pencerahan, akademia rupanya telah berada dalam comfort zone dimana asumsi-asumsi yang digunakan dalam menghasilkan berbagai teori malah dipandang sebagai “doktrin” yang tak lagi patut diperdebatkan.

Data Science adalah revolusi yang sebenarnya tak perlu, karena memang sudah semestinya sains dan akademia selalu ber-proposisi berdasarkan data dan bukan semata-mata asumsi, apalagi subyektivitas mereka yang menyandang sertifikat sebagai “ilmuwan” atau “ahli”. Tren kerja ilmiah mestinya melihat data dahulu,  baru kemudian kesimpulan-kesimpulan  teoretis dibangun. Sadar atau tak sadar, terdapat godaan cara berpikir yang terbalik di kalangan akademia modern yang justru tak menggunakan abnormalitas data yang ditemukan sebagai material eksplorasi “menantang” asumsi-asumsi teoretis yang pakem [8].

Kebijakan ekonomi yang dibangun berdasarkan kepakeman teoretis, mazhab-mazhab ilmu ekonomi, seolah menjadi “ideologi” yang bersembunyi di balik rumitnya matematika dan berbagai variabel-variabel ekonomis. Masyarakat sains belakangan ini perlahan mulai menyadari itu. Bahwa semesta alam dan sosial tidak pernah sesederhana asumsi-asumsi tempat modernisme pengetahuan bersandar. Dunia ini lebih kompleks dari yang kita bayangkan [10].

Fluktuasi  besar dalam sistem ekuilibrium dapat terjadi hanya jika ada banyak kejadian acak yang secara tiba-tiba mengganggu sistem. Hal itu hampir tak mungkin terjadi. Karena itulah teori ekuilibrium tidak dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, seperti fluktuasi harga-harga, dan sebagainya [1].

Untitled

KOMPAS 25 Januari 2013: berbeda yang memprediksi, berbeda hasil prediksi, dan bisa berbeda dampak kebijakannya.

Semakin Data Science mendalami data yang terus mengalir dalam arus dan volume yang besar itu, semakin disadari, bahwa ilmu pengetahuan harus menerima instabilitas dan kekacau-balauan sistem sebagai hal yang tak terelakkan dalam biologi, sejarah, dan ekonomi. Apapun yang kita lihat secara makro, justru lebih sering terjadi oleh kejadian-kejadian kecil di masa lalu. Menginsafi kompleksitas adalah membuang jauh-jauh gagasan detail-detail determinisme jangka panjang atau prediktabilitas.

Kejadian-kejadian besar tak hanya disebabkan hal-hal besar, tapi justru lebih sering terjadi sebagai bentuk konsekuensi dari beberapa dinamika hal-hal kecil sehari-hari [12]. Cara berpikir modernisme, yang mencari-cari detail kausalitas yang spesifik untuk menjelaskan kejadian-kejadian besar yang luar biasa, harus dihindari.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa kekeliruan-kekeliruan metodologis dalam berbagai kebijakan dan keputusan ekonomi sering salah dan kemudian berbagai apologi pun tertuangkan. Sangat jarang dan hampir tak pernah kita mendengar adanya “permohonan maaf” oleh kesalahan prediksi yang berujung pada kekeliruan kebijakan. Berbagai alasan post-factum senantiasa diberikan dan tidak pernah mengganggu gugat metodologi keliru yang telanjur diterapkan [11].

 

Kompleksitas Ekonomi Indonesia

Hal-hal itulah yang lalu membawa kita pada sebuah negeri modern yang unik bernama Indonesia. Bentuknya yang kepulauan telah sekian lama harus menerima berbagai cara berpikir ekonomis yang dilahirkan dan berkembang di negara-negara kontinental. Ribuan suku bangsa yang sebenarnya telah ber-ekonomi sejak bergenerasi-generasi itu telah melihat bangsanya sendiri sebagai bangsa yang “tak rasional” semata-mata karena tak sesuai dengan apa yang diimpi-impikan sebagaimana diajarkan modernisme [9].

Lantas bagaimanakah intelektual mesti berangkat ketika melihat carut-marut situasi sosial ekonomi yang ada di depan mata negeri kita? Persoalan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan antara yang kaya dan miskin, pertumbuhan ekonomi yang masih rendah, wajib pajak yang tak mau membayar pajak, angka pengangguran terbuka, korupsi yang merajalela, dan berbagai persoalan-persoalan lain terbersit di pikiran begitu kita mendengar kegelisahan terkait “ekonomi Indonesia”. Sejarah telah menunjukkan bahwa tidak ada ideologi, mazhab, dan berbagai -isme-isme, mulai dari sosialisme, kapitalisme, hingga -isme yang ramai saat ini, yaitu neo-liberalisme, akan dapat memberikan jawaban bagi persoalan-persoalan ekonomi kita, karena -isme justru berbicara soal doktrin akan situasi ideal yang dipaksakan pada keadaan. Namun tidak juga ada solusi umum atas berbagai persoalan perekonomian yang dapat diandalkan dari tradisi akademia ilmu ekonomi yang diwarisi masyarakat modern sejak zaman abad pencerahan.

Tidak ada satu pun persoalan ekonomi yang independen dari persoalan ekonomi lain. Pasar tenaga kerja bertautan dengan pasar uang, pasar investasi. Pasar investasi berkaitan dengan pasar ritel. Pasar ritel bertautan dengan pasar mata uang. Tiada yang independen. Kompleksitas yang ada ditambah dengan kenyataan era teknologi informasi belakangan ini yang makin “mendekat”-kan relasi antar negara. Dinamika ekonomi Indonesia tak dapat dilepaskan dengan perekonomian negara-negara se-kawasannya di Asia Tenggara, karena bahkan gejolak ekonomi politik di Amerika Serikat, guncangan ekonomi energi bahan bakar fosil di jazirah Arab yang secara geografis sangat jauh itu justru bertautan dengan perekonomian Indonesia.

Kompleksitas harus dijawab dengan cara yang kompleks pula. Tiada hal dalam situasi perekonomian yang independen, harus dijawab dengan kenyataan bahwa tidak ada satu domain ilmu pengetahuan yang independen. Tren ilmu pengetahuan modern sejak akhir abad ke-20 yang lalu telah mulai menyadari hal ini. Sistem ekonomi terlalu penting jika hanya dikerjakan oleh para ekonom, sama seperti sistem politik terlalu berbahaya jika hanya diserahkan pada para politisi.

Data Science lahir di tengah era informasi, ketika semua hal terhubung, terkoneksi, melintasi berbagai batas-batas yang dalam satu hingga dua dekade yang silam sangat tebal. Memperlakukan data-data ekonomi sebagai data dengan melepaskan ideologi dari mazhab-mazhab yang mengungkungnya telah melahirkan kajian “ekonofisika”, yang melihat dinamika harga, pasar, dan berbagai variabel ekonomi dengan model-model fisika [4, 6]. Kajian-kajian kognitif dan studi otak manusia telah dirasakan memberikan kontribusi pada bagaimana keputusan-keputusan ekonomi diambil, sebagai bentuk kajian “neuro-ekonomi”.[3].  Semenjak awal abad ke-21 ini, dunia ilmu pengetahuan telah menyaksikan begitu banyak tren interdisipliner. Interkoneksi data, komputasi yang semakin cepat, telah memberikan kita akan kesadaran bahwa berbagai tatanan pengetahuan yang interdisipliner dan telaah yang makin komprehensif atas data dan bukan asumsi-asumsi yang mengkristal sebagai ideologi.

 

Memandang Masa Depan

Tidak ada hal terbaik yang dapat digunakan memandang masa depan selain komprehensif atas apa yang ada di saat sekarang. Tidak ada solusi sistemis atas persoalan ekonomi, karena ekonomi justru tak bisa dilepaskan dari domain-domain ilmu sosial lain, bahkan domain ilmu-ilmu alam sekalipun. Ilmu ekonomi mesti dipandang sebagai ilmu-ilmu yang interdisipliner. Satu pasar mesti dipandang dalam relasi strukturalnya dengan pasar yang lain. Investasi mesti dilakukan dalam fundamental bidang domain tempat akan dilakukan investasi, bukan semata-mata chart histori yang diregresi atas nama “normalitas”.

Jika Data Science adalah “revolusi” sains yang tak perlu karena “hanya” mengembalikan cara berpikir bahwa sains memang semestinya berbasis pada data dan bukan asumsi teoretis, maka demikian pula halnya dengan gerakan intelektual. Gerakan mahasiswa sebagai salah satu gerakan intelektual yang telah membentuk sejarah sosial bangsa Indonesia sejak awal pun seyogianya demikian, berorientasi pada kenyataan data dan bukan mimpi-mimpi ideal yang ternarasikan dalam ideologi-ideologi.

Dan tool yang paling penting yang dimiliki oleh seorang intelektual adalah hati nurani dan penolakan terhadap segala bentuk ketidakadilan. Tidak ada sistem ekonomi yang ideal karena yang bisa berupaya dicapai hanyalah keadilan yang “ideal”, yang oleh para founding fathers Indonesia disebut sebagai keadaan ekonomi yang “adil dan makmur”…

Kerja-kerja yang Dirujuk:

  1. Bak, P. (1996). How Nature Works. Copernicus.
  2. Keen, S. (2001). Debunking Economics: The Naked Emperor of the Social Sciences. Pluto Press Australia.
  3. Krueger, D. (2009). The Secret Language of Money. McGraw-Hill Professional
  4. Mantegna, R., Stanley, H. E. (1999). An Introduction to Econophysics: Correlations and Complexity in Finance. Cambridge UP.
  5. Roehner, B. (2002). Patterns of Speculations: a study in observational econophysics. Cambridge UP.
  6. Situngkir, H. Surya, Y. (2004). Aplikasi Fisika dalam Analisis Keuangan. SD MIPA.
  7. Situngkir, H., Surya, Y. (2008). Solusi Untuk Indonesia: Prediksi Ekonofisik/Kompleksitas. Kandel.
  8. Situngkir, H. (2015). Indonesia embraces the Data Sciences. Paper presented in South East Asian Mathematical Society (SEAMS) 7th Conference. URL: https://arxiv.org/abs/1508.02387
  9. Situngkir, H. (2017). Kode-kode Nusantara: Telaah Sains Mutakhir atas Jejak-jejak Tradisi di Kepulauan Indonesia. expose: Mizan.
  10. Taleb, N. (2001). Fooled by Randomness: The Hidden Role of Chance in Life and in the Markets. Randoom House.
  11. Taleb, N. (2012). Antifragile: Things That Gains from Disorder. Penguin Books.
  12. Ormerod, P. (2001). Butterfly Economics: A New General Theory of Social and Economic Behavior. Basic Books.
Explore posts in the same categories: Uncategorized

Leave a comment