Pendidikan Tinggi Masyarakat Asli Mensiasati Modernisme Bablas?

Catatan dari Asia Pacific Symposium on Cultures-Based Innovation 2013, Whakatane, 4-9 Agustus 2013

Image

Whakatane adalah sebuah kota kecil yang penduduknya tak lebih dari 1% penduduk kota Bandung di kawasan Pulau Utara di Selandia Baru. Sekitar 13 ribu penduduk suku asli Maori tinggal di kota Whakatane. Populasi yang sedikit itu menjadikan salah satu suku bangsa dari rumpun Melayu Polinesia (Pasifik) ini menjadi minoritas di kehidupan pasca-kolonial Selandia Baru. Namun bangsa yang besar itu memang bukan semata-mata ditunjukkan oleh populasi yang besar. Kebesaran suku bangsa Maori di Whakatane ditunjukkan dengan begitu kukuhnya tata hidup tradisional Maori masih dipegang oleh mereka, mulai dari tata penerimaan tamu dan pendatang, hingga konsep tata ruang perkotaan dan perumahan, serta bagaimana turisme mesti memberikan “penghormatan” kepada apa yang menjadi jiwa masyarakat asli Maori.

Kunjungan ke “marae”, yaitu rumah pertemuan tradisional suku bangsa Maori di Whakatane mengisahkan perjuangan besar mereka dalam gejolak kehidupan tradisional mereka [1], semenjak pendudukan pemerintahan kolonial Inggris, hingga masa pasca-kolonial. Rumah tradisional tersebut pernah diboyong hingga ke London, Inggris, dan baru kembali ke tempat asalnya di awal abad ke-21!

Mempelajari berbagai pola tradisi geometris pada Batik Indonesia [7] dan berbagai ornamentasi lengkungan sulur-suluran se-tanah air [6], akan segera muncul dalam ingatan memperhatikan struktur ornamentasi arsitektural yang ada di rumah tradisional “marae” ini. Setiap sudut bagian interior dari rumah tradisional yang disebut juga sebagai “mataatua wharenui” ini diisi dengan ornamentasi dan panel-panel yang menggambarkan leluhur dan berbagai tokoh legendaris masyarakat Maori yang mendiami kawasan ini semenjak dahulu. Namun sebagaimana yang kita temui dalam penggambaran wayang, lukis batik, dan ukir tradisi, pola penggambarannya menggunakan pola “geometris” khas pasifik yang jauh dari “naturalisme” konvensional, namun dengan pola “pengisian ruang” panel ukir/gambar. Bagaimanapun, menyaksikan marae bagi orang Indonesia seperti menyaksikan hasil karya adiluhung “adik sepupu” kita sendiri. Ada nuansa batik di sana. Terasa jiwa sulur-suluran nusantara di situ. Jejak-jejak cara ber-geometri pada kriya tradisional kita tak ter-elakkan untuk muncul pada karya agung suku bangsa Maori tersebut dalam pola yang lebih kurang “sederhana”, relatif terhadap apa yang terliihat pada jelimet detail ukir panel Borobudur, misalnya, atau mungkin karya lukis batik tradisional Jawa.

Kesederhanaan itu makin terasa begitu melihat lebih dalam, bahwa suku bangsa ini masih meraba-raba aksara yang mungkin merupakan bentuk komunikasi tulis asli mereka. Tak seperti seluruh suku  bangsa di kepulauan Nusantara, mereka “kehilangan” artifak tulis mereka. Beberapa seniman dan desainer antropologis hingga hari ini masih mencoba me-reka ulang bentuk alfabetis mereka. Namun yang menakjubkan adalah bahwa ketiadaan elemen tulis tak membuat penggunaan bahasa Maori menjadi redup sama sekali. Berbagai pantun dan ungkap kata terus mereka lantunkan secara lisan: dalam berbagai seremoni sederhana mengungkapkan kata-kata, memberkati makanan sebelum jamuan, hingga berbagai lantun lagu tradisional Maori. Seperti halnya beberapa suku bangsa pelaut yang ada di Indonesia, suku bangsa Maori adalah juga suku bangsa penyanyi. Mereka bernyanyi untuk apapun dalam berbagai keadaan hati dan situasi sosial. Sudah sangat banyak lagu-lagu tradisional mereka di-gubah ulang menjadi lagu-lagu popular, mulai dari lagu misa Kristen hingga music pop industrial seperti lagu “Something Stupidnya Frank Sinatra dan “O Sole Mio”-nya Elvis Presley. Whakatane menjadi sebuah lanskap “dunia lain” yang sedikit banyak mencontohkan pada dunia, bagaimana nilai-niilai tradisi bisa hidup bersama, bahkan meng-inspirasi modernitas.

Namun bukan hanya persoalan modernitas dan tata hidup tradisional yang hidup harmonis bersama. Di kota Whakatane ini berdiri megah sebuah universitas bernama “Te Whare Wananga o Awanuiārangi”. Dinamakan kampus “indigenous university”, kampus “universitas asli”. Dinamakan demikian karena sekolah tinggi ini bukan semata-mata “menumbuhkan sains dan teknologi modern di atas substrat kehidupan tradisional Maori”, tapi justru “menumbuhkan tata hidup tradisi Maori di atas substrat metodologi ilmiah, untuk inspirasi sains dan teknologi modern”!

Image

Salah satu program studi di “indigenous university” Awanuiarangi suku maori, selandia baru bidang sains hayati

Kampus ini tidak dimaksudkan mengajarkan semata-mata sains modern bagi masyarakat tradisional Maori, tapi juga melakukan penggalian (riset) dan pendidikan (edukasi) berbagai elemen budaya dan ilmu pengetahuan Maori dengan cara-cara modern.Ilmu pengetahuan Maori tersebut, mulai dari desain dan seni, ilmu tata ruang dan ekologi (environmental and life sciences), biologi, ilmu falak (astronomi dan perbintangan tradisional), dan banyak bidang ilmu lainnya. Ada tiga indigenous university di Selandia Baru, dan kampus Te Whare Wananga o Awanuiārangi diharapkan menjadi center of excellence di bidang ilmu-ilmu lingkungan hidup dan ilmu hayati.

Image

Prasasti peresmian universitas masyarakat asli Te Whare Wananga o Awanuiarangi, Whakatane, Selandia Baru.

Begitu banyak kebuntuan tata  hidup modernitas yang berujung pada krisis sosial dan ekologis kita temui dalam hidup modern kita yang “mengasyikkan” ini [4], namun sejak dua tahun lalu, orang-orang dari suku Maori sudah mengambil langkah strategis untuk menjadikan tata  lingkungan hidup ekologis tradisi sukunya sebagai alternatif bagi pola perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup modern yang konvensional. Pertanyaan ini pernah tercuat di sebuah seminar di Institut Teknologi Bandung pada tahun 2009 [4], dan sepertinya tiga tahun kemudian, kampus yang didesain sangat high-tech namun sangat bernuansa Maori di Te Whare Wananga o Awanuiārangi, sudah buru-buru memberikan jawaban: pembaharuan pendidikan tinggi untuk “pembalikan krisis sosial dan ekologis”!

Bisa dibayangkan, dalam beberapa tahun ke depan dari kampus tersebut akan lahir insinyur-insinyur lingkungan hidup, biolog, dan ahli perencanaan tata ruang yang berbekal pengetahuan tua tradisi masyarakat Maori yang memiliki kesetaraan alternatif dengan ahli-ahli serupa dari kampus-kampus modern yang “konvensional”. Ahli-ahli ini akan menerapkan tata ruang Maori bagi kemaslahatan, bukan hanya suku Maori yang minoritas itu, tapi juga bagi seluruh dunia dan kemanusiaan dimanapun alumnusnya akan ditempatkan…

Image

Bandingkan pola “geometris” antara yang di suku Dayak Kalimantan (atas) dengan suku Maori (bawah) – dan bayangkan keduanya terpisah lebih dari 5000 kilometer!

Berbagai “kebingungan” dan “kegamangan” menggabungkan tradisi pendidikan suku asli (indigenous educational system) dan tradisi pendidikan modern (western educational system) memang masih terasa di sana-sini. Diskusi berbagai aspek geometris dan komputasional batik dan sulur-suluran nusantara [5, 6, 7] yang dikontraskan dengan ornamentasi di rumah kumpul tradisi marae, tata hidup silsilah orang batak di nusantara [3] yang dikontraskan dengan genealogi suku Maori (whakapapa), analisis aspek matematis dan generatif lagu-lagu nusantara [2] dengan lagu-lagu khas pasifik Maori (waiata), dan sebagainya pada Asia Pacific Symposium on Cultures-Based Innovation yang diselenggarakan bersama dengan Swinburne University of Technology, Australia, 4-9 Agustus 2013 yang lalu, rupanya memberikan angin segar yang bisa menjadi inspirasi bagi tetap tegaknya kampus berbasis tradisi Maori tersebut.

Image

Bersama Te Makarini, seorang cendekia senior dan tetua adat suku Maori di situs Kaputerangi, asal muasal sukunya di Whakatane.

Namun sebagai salah seorang penduduk Nusantara Raya, Indonesia ini, muncul sebuah pertanyaan dan renungan di benak sendiri. Kita memiliki kelengkapan budaya yang jauh lebih “rapi” sebenarnya dibandingkan mereka. Kait-mengkait antara tari-tarian, alat musik, langgam lagu dan pantun, aksara, bahasa, sastra, jamu-jamuan dan obat tradisi, kuliner, hingga adat-istiadat ritual (yang meskipun sebagian besar sudah (atau hampir) punah) masih terjaga dan saling meng-ada satu sama lain. “Kelengkapan” kultural ini dengan dibarengi jumlah penduduk yang luar biasa besar di antara penduduk negara lain di planit bumi ini, masih jauh dari upaya luhur kependidikan tinggi yang berbasis budaya tradisi kita sendiri dalam perkawinan yang harmonis demi alternatif hidup di alam modern. Kita masih enggan mengangkat sendiri berbagai alternatif jawaban yang mungkin telah diwariskan pada generasi kita demi menghadapi tantangan hidup modern. Kita masih malu-malu mengaku sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan budaya, sosial, dan ekologis, dengan kesilauan yang amat sangat dengan apa yang ada di luar sana, sementara yang di luar sana seringkali iri hati dengan apa yang ada di dalam sini!

oBnq

Ketegasan suku bangsa maori mendeklarasikan kedaulatan budayanya hingga ke Perserikatan Bangsa-bangsa.

Ini menyisakan sebuah renungan atas apa yang kita hadapi sehari-hari sebagai makhluk budaya di nusantara raya ini. Semoga catatan kecil yang memotret kampus Te Whare Wananga o Awanuiārangi ini bisa menggugah kita untuk lebih bersemangat mengunggah apa yang terpendam dalam benak sosio-kultural kita, bahwa kita belum terlambat, untuk melihat dan mencari alternatif solusi “di sini”, dan bukan “di  sana”!

Auckland, 9 Agustus 2013.

Kerja Yang Disebutkan

  1. History of Whakatane’s Mātaatua Wharenui. URL: http://www.newzealand.com/travel/media/features/maori-culture/maori-culture_mataatua-wharenui-story.cfm
  2. Situngkir, H. (2008). Sepuluh lagu tentang hidup di Nusantara. Catatan Weblog. URL: http://qmuse.wordpress.com/2008/06/10/10-lagu-tentang-hidup-di-nusantara/
  3. Situngkir, H. (2008). How Close a Bataknese One Another?: Study of Indonesian Batak’s Family Tree. BFI Working Paper Series WP-2-2008. Bandung Fe Institute
  4. Situngkir, H. (2009). Memperbaharui Pendidikan Sains Dasar untuk Pembalikan Krisis Sosial Ekologis(?). Makalah disampaikan pada Seminar Pemaparan “Imperatif Pembalikan Krisis Sosial Ekologis dan Pengurusan Publik”, Institut Teknologi Bandung, 11 Februari 2009. URL: https://qact.wordpress.com/2010/02/12/sains_dasar/
  5. Situngkir, H. (2010). Borobudur was Built Algorithmically. BFI Working Paper Series WP-8-2010. Bandung Fe Institute.
  6. Situngkir, H. (2012). Deconstructing Bataknese Gorga. BFI Working Paper Series WP-7-2012. Bandung Fe Institute.
  7. Situngkir, H. & Dahlan, R. (2007). Fisika Batik. Gramedia Pustaka Utama.
Explore posts in the same categories: Uncategorized

Leave a comment